
Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele
saja, kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar, dan
akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki. Beberapa minggu sudah
berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa.
Suatu pagi, datanglah seseorang mengetuk
pintu rumah Sang Kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa
kotak perkakas tukang kayu.
"Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari
pekerjaan," kata pria itu dengan ramah. "Barangkali tuan berkenan
memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan?"
"Oh ya !?" jawab Sang Kakak. "Saya punya
sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang
sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku. Ah sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan
bulldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu sehingga
menjadi sungai yang memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu
untuk mengejekku, tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada
gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku sehingga aku tidak perlu lagi melihat
rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya."
Kata Tukang Kayu, "Saya mengerti. Belikan
saya paku dan peralatan. Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa
membuat tuan merasa senang."
Kemudian Sang Kakak pergi ke kota untuk
berbelanja berbagai kebutuhan dan menyiapkannya untuk si Tukang Kayu.
Setelah itu ia meninggalkan Tukang Kayu
bekerja sendirian. Sepanjang hari Tukang Kayu bekerja keras, mengukur,
menggergaji dan memaku. Di sore hari, ketika Sang Kakak petani itu
kembali, Tukang Kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa
terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan Tukang Kayu itu.
Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya. Namun, yang ada adalah jembatan melintasi
sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang pertanian adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan
undak-undakan yang tertata rapi.
Dari seberang sana, terlihat Sang Adik
bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka
lebar.
"Kakakku, kau sungguh baik hati mau
membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu.
Maafkan aku." kata Sang Adik pada Kakaknya. Dua bersaudara itu pun
bertemu di tengah-tengah jembatan, saling berjabat tangan dan berpelukan.
Melihat itu, Tukang Kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk
pergi.
"Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa
hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu", pinta Sang Kakak.
"Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di
sini", kata Tukang Kayu, "tapi masih banyak jembatan lain yang harus
saya selesaikan."
Butir-butir refleksi:
TUHAN SELALU INGIN KITA BERSAMA DALAM DAMAI
SEJAHTERA
TUHAN SELALU INGIN MEMPERSATUKAN HATI KITA
TUHAN SELALU INGIN KITA MENGASIHI SESAMA
KITA, SAUDARA KITA.
KARENA TUHAN ADALAH SAHABAT SETIA, PENOLONG
KITA.
PERCAYALAH BAHWA TUHAN SELALU INGAT PADA
KITA MANUSIA
Sadarkah kita bahwa:
Kita dilahirkan dengan dua mata di depan,
karena seharusnya kita melihat yang ada di depan?
Kita lahir dengan dua telinga, satu kiri
dan satu di kanan sehingga
kita dapat mendengar dari dua sisi dan dua
arah. Menangkap pujian
maupun kritikan, Dan mendengar mana yang
salah dan mana yang benar.
Kita dilahirkan dengan otak tersembunyi di
kepala, sehingga
bagaimanapun miskinnya kita, kita tetap
kaya. Karena tak seorang pun
dapat mencuri isi otak kita. Yang lebih
berharga dari segala permata yang ada.
Kita dilahirkan dengan dua mata, dua
telinga, namun cukup dengan satu mulut.
Karena mulut tadi adalah senjata
yang tajam,
yang dapat melukai, memfitnah, bahkan membunuh.
Lebih baik
sedikit bicara, tapi banyak mendengar dan melihat.
*dari sumber yg tak diketahui
*dari sumber yg tak diketahui
No comments:
Post a Comment