Sungguh inspiratif dan mengusik nurani, tulisan yang tersaji di link ini. Sebuah pengalaman unik dibagikan oleh Abrar dan Alif bersama kedua
orang tua mereka. Tindakan Abrar dan Alif yang melaporkan kecurangan
saat pelaksanaan UN di sekolah mereka bagaikan riak kecil di tengah
samudra praktek ketidakjujuran di negeri ini. Peristiwa itu juga
mencerminkan bobroknya sistem pendidikan kita, terutama terkait
pelaksanaan Ujian Nasional. Sekolah yang mestinya menanamkan nilai-nilai
moral untuk membentuk karakter pribadi yang unggul, justru mengajarkan
praktik ketidakjujuran. Pihak sekolah atau pendidik tentu ingin semua
peserta didiknya lulus dan prestise sekolah mereka terangkat. Kebanyakan
orang tua pun pasti menginginkan anaknya lulus dengan nilai baik, meski
tak peduli prosesnya. Namun, apakah niat baik itu mesti ditempuh dengan
menghalalkan segala cara? Apakah sistem pendidikan kita turut andil
dalam mengondisikan pihak sekolah, peserta didik dan orang tua
mengutamakan nilai UN dan tingkat kelulusan daripada output pribadi
peserta didik yang berkepribadian baik?
Keputusan atas dasar hirarki nilai
Alasan yang dikemukakan Abrar terhadap tindakannya melaporkan praktik ketidakjujuran itu sangatlah mendasar. Pertama, kejujuran
menjadi sesuatu yang sangat bernilai seperti yang ditanamkan oleh kedua
orang tuanya. Penanaman nilai kejujuran oleh kedua orang tuanya telah
mengakar dalam diri Abrar sehingga dia merasa sangat bersalah. Hati
nuraninya terusik dan dia menangis setelah kejadian yang dialami saat UN
di sekolahnya. Kedua, Abrar mampu menempatkan nilai kejujuran
di atas nilai kebersamaan, bahkan prestise siswa dan sekolah. Sekali
lagi orang tua Abrar berhasil mengajarkan sebuah hirarki nilai dan keberanian untuk mengambil keputusan atas dasar hirarki nilai tersebut.
Ketiga, Abrar mengatakan, “Saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa roboh,”. Terkandung dua keutamaan dalam pernyataan ini, yakni keadilan dan integritas.
Bagi Abrar, nilai yang diperoleh siswa mestinya mencerminkan kondisi
nyata kemampuan mereka. Selain itu hasil yang diperoleh dalam ujian
selayaknya diperoleh dengan proses yang benar dan adil. Integritasnya
sebagai seorang siswa yang menimba ilmu dan belajar membentuk
kepribadian diri, terusik oleh praktek jalan pintas yang tidak jujur.
Pemimpin masa depan ditentukan oleh pembinaan diri sejak usia dini.
Kekawatiran Abrar tentang Indonesia yang bisa roboh bila dipimpin oleh
mereka yang “bodoh” (baca: tidak memiliki kualitas diri seorang pemimpin
sejati) sangatlah beralasan. Kenyataan di Indonesia banyak membuktikan
kebenaran pernyataan itu. Banyak (tidak semua) pemimpin atau pejabat di
pemerintahan, legislatif dan yudikatif yang tidak memiliki integritas
dan dedikasi tinggi dalam menjalankan tugasnya. Praktek KKN di hampir
semua instansi pemerintah, DPR/D, swasta dan badan layanan publik masih
menjamur.
Perjuangan sunyi melawan arus
Kegigihan kedua orang
tua Abrar dan Alif sungguh patut diacungi jempol dan didukung.
Perjuangan nilai-nilai kejujuran tersebut bagaikan aliran kecil melawan
arus deras berbagai praktik ketidakjujuran. Usaha menegakkan kejujuran
tersebut dirasa aneh dan langka di tengah kelaziman yang dijalani
sebagian masyarakat kita. Menurut psikolog anak, Silmi Kamilah Risman, “Suara-suara yang kritis itu seperti suara sumbang dalam tim koor yang kompak.”
Kekompakan yang tidak benar itulah yang mesti diubah. Kedua orang tua
siswa tersebut telah berani memilih “jalan sepi dan asing” di tengah
arus utama keinginan sukses dengan menghalalkan segala cara. Meski tidak
banyak dukungan dan reaksi positif, mereka tetap teguh memperjuangkan
keutamaan yang diyakini akan sangat berguna bagi pembentukan karakter
pribadi manusia Indonesia.
Sepinya respons dan
tindakan nyata mengatasi masalah ketidakjujuran dalam praktik UN
menunjukkan sikap kemapanan atau keengganan untuk berubah. Kriteria
keberhasilan pendidikan di Indonesia pada kenyataannya masih ditentukan
oleh angka di atas selembar kertas ijazah. Carut marut pendidikan di
Indonesia seringkali disebabkan oleh kecenderungan pragmatis. Apa yang
dirumuskan dengan indah dan ideal dalam kurikulum dan
keputusan-keputusan masih berbeda dengan realitas pelaksanaannya.
Perjuangan kedua orang
tua Abrar dan Alif sungguh menohok dan bisa mencoreng muka para
penanggungjawab pendidikan di Indonesia, mulai dari sekolah sampai
kementerian. Itulah sebabnya perjuangan mereka belum mendapatkan hasil
seperti yang diharapkan. Apresiasi yang tinggi patut diberikan juga
kepada penyelenggara pemutaran video dokumenter kolaborasi “Temani Aku Bunda” dan diskusi “UN untuk Apa?”,
Sabtu (6/4/2013) lalu, di XXI Epicentrum, Jakarta. Semoga kegiatan
semacam ini terus digulirkan di berbagai daerah, apalagi menjelang
pelaksanaan UN ini.
Kemendikbud bersama Panitia UN 2013 dan Sekolah-sekolah perlu berbenah
diri dan membangun komitmen untuk menyelenggarakan UN dengan baik sesuai
prosedur yang telah ditetapkan. Perlu diingat bahwa UN
hanya merupakan salah satu alat ukur keberhasilan studi para peserta
didik. Pembentukan pribadi yang cerdas, berakhlak moral, berjiwa sosial
dan berintegritas sesuai jenjang umur peserta didik jauh lebih utama
dari perolehan angka di ijazah dan tingkat kelulusan mereka. Pemerintah
juga perlu berkomitmen merumuskan kebijakan secara integratif atas
dasar prinsip filosofi pendidikan yang memerdekakan peserta didik untuk
mampu mengeksplorasi, kreatif dan menjadi dirinya sendiri. Semoga
perjuangan kedua orang tua Abrar dan Alif menjadi pembelajaran penting
bagi semua pihak untuk membenahi pendidikan di Indonesia. Masa depan
Indonesia sangat ditentukan oleh proses pendidikan generasi muda yang
akan menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat. Mari kita dukung perjuangan
untuk menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran dalam
proses pendidikan di Indonesia. Semoga semakin banyak “Abrar dan Alif”
lain yang berani jujur. Kalian lah calon pemimpin hebat di masa depan!!!
No comments:
Post a Comment