Akhir-akhir ini masyarakat lewat media massa, seminar dan berbagai kesempatan menyorot sosok dan kinerja pemimpin, pejabat pemerintah, wakil rakyat dan pemimpin partai di negeri ini. Keterlibatan mereka dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan KKN makin melukai rasa keadilan masyarakat dan menimbulkan krisis kepercayaan yang makin parah di kalangan masyarakat. Selama beberapa dekade negeri kita mengalami krisis kepemimpinan atau tiadanya figur pemimpin negeri yang berintegritas dan dicintai rakyatnya karena mampu memberdayakan seluruh potensi alam (SDA) maupun manusianya (SDM) demi tercapainya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Yang terjadi kepemimpinan lebih dipandang sebagai suatu kedudukan, jabatan dan prestise yang harus dikejar dan diperebutkan dengan ‘modal’ besar (bukan kapasitas diri). Alih alih bersinergi untuk memperjuangkan kepentingan bersama, para pemimpin sibuk mengutamakan pencitraan, mementingkan diri dan kelompoknya. Selain itu, carut marut negeri ini juga diperparah oleh krisis moral dan spiritual, di mana nilai-nilai moral spiritual tidak dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan nyata. Akibatnya kekerasan, ketidakadilan, intoleransi, keserakahan, egoisme kelompok dan kepentingan pragmatis makin merajalela mencederai kehidupan bersama.
Di tengah situasi bangsa yang sedang mengalami berbagai “krisis” ini, pemimpin religius ditantang untuk turut memberi kontribusi nyata agar negeri ini bisa bangkit dari keterpurukan. Peran utama yang mesti dimainkan adalah memperjuangkan nilai-nilai moral spiritual agar menjiwai seluruh kehidupan bangsa ini. Bagaimana perjuangan itu dapat diwujudnyatakan?