/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Monday, April 2, 2012

AKU DAN SESAMAKU SEBAGAI ANUGERAH

Kita mengenal Mother Theresa dengan segala karya cinta kasihnya bagi orang miskin, kusta, terlantar di jalan-jalan kota Calcuta India. Apa yang mendorong Mother Theresa melakukan tindakan itu? Tidak lain karena dia melihat mereka itu sebagai orang yang berharga, berhak mendapatkan cinta dan perhatian yang semestinya. Tindakan Mother Theresa itu mengingatkan kita akan sabda Yesus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Yesus mengidentikkan diri dengan mereka yang miskin, sakit, telanjang, dalam penjara, yatim piatu, terlantar, dan berdosa. Keadaan riil mereka tidak menghilangkan identitas dan keberadaan sebagai CITRA ALLAH. Mother Theresa melihat wajah Allah yang hadir dan peduli pada diri saudara-saudari kita itu. Bahkan kehadiran mereka menjadi “undangan” atau panggilan untuk menyatakan cinta yang tulus, cinta yang memanusiakan atau mengangkat kembali martabat luhur yang dianugerahkan Allah.


Pengalaman Mother Theresa itu dapat membantu kita untuk menyadari kembali keberadaan kita sebagai Citra Allah. Allah menciptakan kita dengan martabat luhur dan menganugerahi kita daya hidup serta berbagai kemampuan (akalbudi, hati nurani dan kehendak bebas). Bahkan Allah memberi kita kuasa atas alam semesta ini (Kej 1: 26-31). Namun kuasa itu perlu dimengerti secara benar, bukan sebagai kuasa untuk bertindak sewenang-wenang (serakah dan mementingkan diri yang membawa dampak ketidakadilan, konflik dan kerusakan alam). Kuasa itu harus dimengerti secara benar sebagai tugas untuk merawat dan mengelola alam untuk kebahagiaan generasi sekarang dan yang akan datang. Allah telah menciptakan manusia dan alam semesta ini dalam keadaan baik dan untuk tujuan baik. Mengapa dan untuk tujuan apa Allah menciptakan manusia dan alam semesta? Tidak lain adalah karena Cinta-Nya yang menghendaki seluruh ciptaan-Nya mengalami keselamatan atau kebahagiaan. Penciptaan ada dalam kerangka atau rencana keselamatan-Nya. Setiap pribadi diberi karunia hidup dan segala kemampuan (berpikir, merasa, mencinta dan bertindak) untuk mencapai kebahagiaan. Karunia itu sekaligus mengandung tanggungjawab agar kita mengembangkan hidup dan tugas panggilan dalam memperjuangkan keselamatan itu. Namun tujuan itu tidak dapat dicapai seorang diri. Bahkan Allah pun membutuhkan manusia sebagai “co-creator”, yang terlibat dalam proses penciptaan terus-menerus (creatio continua) lewat kreativitas (daya kreasi atau mencipta), daya cinta, pengembangan ilmu pengetahuan, seni budaya, tata kelola kehidupan bersama yang adil dan sejahtera.Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pribadi membutuhkan kehadiran pribadi-pribadi yang lain, bahkan makhluk lain dan alam untuk dapat meraih kebahagiaan hidup. Allah mengaruniakan pribadi lain menjadi sesama atau rekan dalam peziarahan hidup di dunia menuju kepada persatuan dengan  Allah dalam kebahagiaan kekal di surga. Masalahnya ialah apakah kita sungguh menyadari kehadiran pribadi lain atau sesama kita sebagai anugerah dari Allah atau tidak? Apakah kita dapat membangun kebersamaan yang memberi kesempatan untuk bertumbuhnya karunia-karunia Allah dalam diri kita?

Melihat pribadi lain sebagai anugerah dan membangun kehidupan bersama atau komunitas yang kondusif bagi bertumbuhnya karunia-karunia Allah bukan sesuatu yang mudah namun menjadi tantangan bagi kita. Berikut beberapa langkah yang perlu kita lakukan untuk menjawab tantangan tersebut.

Pertama-tama, kita masing-masing perlu berefleksi, mengakrabi diri dan menyadari keberadaan diri sebagai Citra Allah, orang yang sungguh istimewa dan berharga di mata Allah. Aku adalah pribadi yang dipilih Allah, diberkati dan diberi berbagai karunia hidup dan kemampuan akal budi, hati nurani dan kehendak bebas. Allah mencintai diriku, menyertai dalam perjalanan hidupku (sejarah hidupku) dan menghendaki kebahagiaanku. Meskipun aku tidak sempurna atau memiliki keterbatasan namun aku diberi kemampuan dan rahmat Allah untuk berjuang dengan penuh harapan meraih tujuan hidupku. Kesadaran diri yang positif dan optimis (namun tetap realistis) ini membuat aku mudah bersyukur, tidak mudah putus asa, selalu “positive thinking”, bersemangat, rendah hati dan terbuka.

Kedua, menyadari sesamaku juga sebagai Citra Allah yang dicintai Allah, istimewa dan berharga di mata Allah. Sesamaku juga diberkati dan diberi berbagai karunia agar dapat mengalami kebahagiaan. Seperti diriku, mereka juga memiliki keterbatasan dan kekurangan, namun dipakai Tuhan untuk dapat menjadi saluran rahmat bagi sesama. Kita ingat orang tua, sanak saudara, guru-guru, sahabat, saudara setarekat, rekan kerja, murid, dan sebagainya. Atas caranya masing-masing Tuhan bekerja dalam diri mereka. Kehadiran mereka juga menjadi “undangan” bagiku untuk mengaktualisasikan cinta dan berbagai karuniaku untuk kebahagiaan mereka.

Ketiga, membangun relasi dan hidup bersama yang kondusif bagi tumbuhnya Cinta dan karunia-karunia Allah dalam diri kita. Relasi itu dibangun atas cinta dan semangat persaudaraan sebagai sesama Citra Allah. Secara konkrit kehidupan bersama diusahakan diwarnai dengan sikap hormat akan martabat pribadi (HAM), saling percaya, keterbukaan, saling memaafkan, solidaritas dan saling mendukung. Kehidupan bersama yang demikian akan menghantar setiap pribadi untuk bertumbuh dalam hidup dan panggilan (tugas perutusan)-nya.

Keempat, menyadari tujuan hidup kita (semua orang, bahkan semua mahluk hidup) adalah kebahagiaan (keselamatan, kesejahteraan). Muncul pertanyaan: apa itu kebahagiaan dan bagaimana kita dapat mencapainya? Bagi orang Kristiani, kebahagiaan itu bukan hanya soal terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin (damai, tentram, dll), namun tercapainya kesatuan cinta antara diriku dengan Allah, antara aku dan sesamaku, serta alam semesta ini. Maka kita akan mengalami kebahagiaan bila menghayati iman, harapan dan cinta dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran sesama dan alam semesta ini mengundangku untuk bersama-sama menghidupkan iman, harapan dan cinta itu.

Secara konkrit kebahagiaan itu dapat dihayati dalam sikap ini: “The beauty of life doesn't depend on how happy you are, but depend on how happy others can be because of you”. Kiranya kita semua mengamini bahwa kehidupan kita akan menjadi indah bila kita saling mencintai, berkorban, mau membahagiakan yang lain, saling menghargai dan mendukung satu sama lain. Kebahagiaan itu dapat ditemukan justru dalam sikap yang mengarah keluar kepada sesama, bukan sebaliknya mengarah ke dalam diriku. Yesus memberi teladan cara hidup kenosis atau pengosongan diri (Fil 2:6-8) yang justru akan menghantar pada kepenuhan diri. Kenosis menunjuk pada cinta Yesus yang mau melayani dan mempersembahkan diri-Nya untuk kebahagiaan kita (Mat 20:28; Mrk 10:45). Mari kita menghayati cara hidup kenosis itu dalam keluarga, komunitas, lingkungan kerja dan masyarkat kita. Satu sama lain berusaha menjadi tanda kehadiran Allah. Niscaya kita dapat mengalami bersama karunia Cinta dan Kebahagiaan yang dianugerahkan Tuhan.

Pertanyaan refleksi:

1. Karunia-karunia apa saja yang Tuhan berikan kepada diriku? Apakah aku sudah mengembangkannya dalam hidup dan panggilanku?
2. Karunia-karunia apa yang kuterima dari Tuhan lewat keluarga/teman se-komunitas/dll? Apa manfaat yang kurasakan?

3. Hambatan apa saja yang kutemukan dalam diriku untuk menjadi anugerah bagi sesamaku?

4.  Apakah aku mengalami kehidupan keluarga/komunitas yang kondusif bagi tumbuhnya karunia-karunia Allah? Apa yang masih perlu ditingkatkan?

No comments:

Post a Comment