/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Thursday, May 31, 2012

PEMIMPIN YANG INKLUSIF DAN TRANSFORMATIF


Akhir-akhir ini masyarakat lewat media massa, seminar dan berbagai kesempatan menyorot sosok dan kinerja pemimpin, pejabat pemerintah, wakil rakyat dan pemimpin partai di negeri ini. Keterlibatan mereka dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan KKN makin melukai rasa keadilan masyarakat dan menimbulkan krisis kepercayaan yang makin parah di kalangan masyarakat. Selama beberapa dekade negeri kita mengalami krisis kepemimpinan atau tiadanya figur pemimpin negeri yang berintegritas dan dicintai rakyatnya karena mampu memberdayakan seluruh potensi alam (SDA) maupun manusianya (SDM) demi tercapainya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Yang terjadi kepemimpinan lebih dipandang sebagai suatu kedudukan, jabatan dan prestise yang harus dikejar dan diperebutkan dengan ‘modal’ besar (bukan kapasitas diri). Alih alih bersinergi untuk memperjuangkan kepentingan bersama, para pemimpin sibuk mengutamakan pencitraan, mementingkan diri dan kelompoknya. Selain itu, carut marut negeri ini juga diperparah oleh krisis moral dan spiritual, di mana nilai-nilai moral spiritual tidak dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan nyata. Akibatnya kekerasan, ketidakadilan, intoleransi, keserakahan, egoisme kelompok dan kepentingan pragmatis makin merajalela mencederai kehidupan bersama.
Di tengah situasi bangsa yang sedang mengalami berbagai “krisis” ini, pemimpin religius ditantang untuk turut memberi kontribusi nyata agar negeri ini bisa bangkit dari keterpurukan. Peran utama yang mesti dimainkan adalah memperjuangkan nilai-nilai moral spiritual agar menjiwai seluruh kehidupan bangsa ini. Bagaimana perjuangan itu dapat diwujudnyatakan?

Pertama, para pemimpin religius sendiri mesti menghidupi paradigma inklusif di tengah realitas pluralitas agama dan budaya yang dianut bangsa ini. Paradigma inklusif berarti pandangan yang terbuka menerima adanya pluralitas kebenaran (pandangan hidup, agama, budaya, kepentingan dan berbagai perbedaan lainnya), mau memahami, menghormati dan berdialog satu sama lain. Pemimpin yang inklusif tidak akan melakukan klaim kebenaran (memutlakkan kebenarannya sendiri dan menganggap yang lain salah), namun terbuka untuk membangun persaudaraan yang tulus dengan semua yang berkehendak baik dalam perjalanan menuju Kebenaran Mutlak (milik Allah). Bagi mereka, perbedaan pada ”lapisan eksoteris” (istilah dari Fritjof Schuon yang menunjuk pada “ungkapan lahiriah dari nilai-nilai religius”) diterima dan diakui namun tidak terjebak pada sekat-sekat atau terjatuh pada formalisme. Pemimpin yang inklusif akan lebih mengarahkan perhatian pada “lapisan esoteris” yang berisi nilai-nilai moral spiritual dan menemukan titik temunya di sana.
Kedua, pemimpin yang inklusif selalu berupaya membangun suatu dialog sejati (yang tulus, saling menghargai dan menghidupkan). Dialog tersebut dapat dibangun pada 4 tataran, yakni mulai dari tataran realitas kehidupan nyata (dialog kehidupan), dalam komunitas seiman (dialog intra-religius), dalam komunitas antar iman (dialog inter-religius) dan dialog teologis (dialog antar para pemimpin atau ahli teologi)
Ketiga, akhirnya dialog sejati mesti bermuara pada upaya kerjasama nyata untuk kemanusiaan. Para pemimpin inklusif akan mendorong kerjasama untuk memperjuangkan terwujudnya keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (KPKC) di tengah masyarakat. Para pemimpin harus berani menyuarakan kebenaran dan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi “krisis kemanusiaan” yang menjadi tantangan global dewasa ini. Prinsip sederhana “think globally, act locally” bisa dipakai untuk mewujudkan tindakan nyata dalam kerjasama dengan semua pihak (pemerintah, komunitas agama, LSM, ormas, lembaga pendidikan, perusahaan, dsb).
Bila ketiga hal tersebut bisa diwujudnyatakan oleh para pemimpin religius niscaya mereka akan dapat menjadi agen perubahan (agent of change) atau mempunyai daya transformatif di tengah masyarakat. Bangsa ini benar-benar merindukan pemimpin yang inklusif dan transformatif agar nilai-nilai moral spiritual mengisi relung-relung hati dan mewujud dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Pemimpin yang inklusif dan transformatif (di semua elemen kehidupan) ini akan membawa kita semua pada terwujudnya masyarakat adil, damai, sejahtera, bermartabat dan menjaga keutuhan ciptaan (integrity of creation). Utinam (semoga).*_*

No comments:

Post a Comment