/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Thursday, April 4, 2013

PERGESERAN PARADIGMA UNTUK SELAMATKAN HUTAN INDONESIA


Kerusakan hutan dan peran Indonesia
Seperti kita ketahui, perubahan iklim (climate change) menjadi masalah global yang dihadapi dunia dewasa ini. Perubahan iklim merupakan bagian dari krisis ekologis yang mendesak untuk diatasi agar keseimbangan ekologis terjaga dan dunia menjadi tempat yang layak huni. Salah satu penyebab perubahan iklim yang terjadi di Indonesia adalah laju deforestasi dan degradasi yang begitu tinggi. Data tentang laju deforestasi (penggundulan dan pengalihan fungsi lahan hutan) di Indonesia memang berbeda-beda, misalnya Bank Dunia menyebut 700.000-1.200.000 ha/tahun. Sedangkan FAO menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%). Berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000 – 2.000.000 ha per tahun. Bahkan lebih tinggi lagi data yang diberikan Greenpeace, yakni mencapai 3.800.000 ha per tahun. Semua data itu menunjukkan parahnya kerusakan hutan di Indonesia.[1] Padahal Indonesia termasuk 3 besar negara yang memiliki hutan terluas di dunia, namun sekaligus menjadi emiter (penghasil karbon yang lepas ke atmosfir secara sangat signifikan) nomor empat setelah China, India, Amerika Serikat (AS)[2]

Mengingat luasnya hutan sekaligus tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia, maka peran dan tanggungjawab yang diemban Indonesia untuk mengatasi masalah ekologis pun menjadi besar. Kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah Indonesia khususnya terkait pengelolaan hutan menjadi sangat sentral dan berpengaruh terhadap kondisi ekologis global. Persoalannya apakah kebijakan pembangunan di Indonesia sungguh mendatangkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, sekaligus ramah lingkungan (eco friendly)? Ini terkait dengan paradigma dan indikator yang digunakan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Bila paradigma dan indikator yang digunakan hanya pertumbuhan ekonomi, maka bisa terjadi ketimpangan (ketidakadilan) sosial dan ketidakadilan ekologis. Buktinya pertumbuhan ekonomi 6 % tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bertambahnya lapangan pekerjaan maupun berkurangnya tingkat kemiskinan dan tingkat rasio gini serta masih menyisakan konflik agraria.

Kebijakan pembangunan di Indonesia terkait pengelolaan hutan yang hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi ternyata mengakibatkan kerusaan hutan yang semakin parah. Itulah sebabnya kebijakan pembangunan di Indonesia khususnya terkait pengelolaan hutan tidak cukup hanya menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi. Skenario business as usual, green economy, skema REDD+ dan Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang ditawarkan oleh berbagai pihak sejatinya masih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Apakah skenario dan skema tersebut akan efektif menyelamatkan hutan Indonesia? Banyak pihak masih meragukannya. Oleh karena itu, pengelolaan hutan di Indonesia perlu memperhatikan prinsip keadilan dan keutuhan ciptaan mengingat masalah hutan di Indonesia sangatlah kompleks seperti yang disampaikan oleh Noer Fauzi Rachman, yakni krisis ekologis, distribusi penguasaan tanah dan sumber daya alam yang timpang, dan konflik-konflik agraria.[3]

Pergeseran Paradigma (shift paradigm) dari “Menguasai” ke “Merawat”
Penyebab kerusakan hutan di Indonesia bila kita telusuri ternyata tidak berhenti pada konsep pertumbuhan ekonomi, namun lebih dalam lagi dikarenakan paradigma “menguasai” atau “menaklukan” yang dilakukan manusia terhadap alam semesta ini. Seperti kita ketahui, manusia adalah makhluk yang paling tinggi martabatnya di antara makhluk ciptaan lainnya di alam semesta ini. Karena itu, menurut Kitab Suci orang Kristen, Allah memberinya kuasa untuk “...penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kitab Kejadian 1:28).  “Kuasa” itu dapat menimbulkan persepsi yang kurang tepat. Pertama, konsep “menguasai” (subdue) dilatarbelakangi oleh antroposentrisme (berpusat pada manusia), artinya manusia menjadi pusat dari alam semesta sehingga keberadaan semua makhluk di alam semesta diperuntukkan hanya bagi manusia. Kedua, konsep “menguasai” dapat menyuburkan kecenderungan egosentris manusia untuk serakah, mendominasi dan melakukan kesewenang-wenangan demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Paradigma “kuasa” inilah yang membuat manusia berlomba-lomba mengeksplorasi sumber daya alam secara sewenang-wenang dengan didukung oleh sistem ekonomi kapitalis. Dampaknya, kerusakan ekologis dan ketidakadilan atau ketimpangan sosial semakin masif terjadi.

Sudah saatnya paradigma “menguasai” atau “menaklukan” itu diganti dengan “merawat” (to maintain).  Paradigma ini perlu diarusutamakan dalam kebijakan pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya. Mengapa? Pertama, paradigma merawat mengandung nilai hormat, tanggungjawab dan keadilan terhadap seluruh makhluk dan alam semesta. Alam semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Tuhan yang perlu dilestarikan dan dijaga keutuhannya agar tetap menunjukkan keagungan Penciptanya. Manusia sebagai makhluk bermartabat paling tinggi diberi kepercayaan dan kebebasan untuk menggunakan akal budi dan kehendaknya untuk melestarikan alam semesta demi kebahagiaan bersama. Tanggungjawab pada kelangsungan hidup generasi mendatang pun tidak boleh diabaikan. Paradigma merawat akan menghindarkan manusia dari sikap kesewenang-wenangan, egoisme dan keserakahan. Antroposentrisme bergeser menjadi ecocentrisme, dimana manusia mencoba mengharmonisasikan dirinya dengan alam semesta.

Kedua, paradigma “merawat” dapat mendorong solidaritas dan partisipasi semua pemangku kepentingan.  Kebijakan pengelolaan hutan dirumuskan, dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi oleh semua pihak demi kesejahteraan bersama (bonum commune). Krisis ekologis, khususnya kerusakan hutan disadari sebagai masalah bersama yang perlu ditangani bersama pula. Rasa solidaritas dan terbukanya ruang partisipasi melahirkan sinergi yang hebat dalam upaya penyelamatan hutan, maupun secara lebih luas dalam kebijakan dan implementasinya terkait pengelolaan hutan.

Ketiga, paradigma “merawat” melahirkan prinsip keberlanjutan. Meski Indonesia masih memiliki kekayaan sumber daya alam, khususnya hutan tropis yang luas dan memiliki biodiversitas tinggi, namun bila tidak dikelola dengan bijaksana tentu akan semakin berkurang bahkan habis. Upaya reservasi, konservasi, dan penyelamatan hutan lewat legislasi yang berdasarkan prinsip keadilan, ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainability) perlu terus digiatkan. Selain itu perlu diseriusi usaha kreatif dan inovatif untuk menyiasati keterbatasan sumber daya alam dengan pengembangan energi alternatif atau terbarukan di tengah semakin besarnya kebutuhan energi.

Bila diimplementasikan dengan baik, paradigma “merawat” ini dapat melahirkan solusi bagi kerusakan hutan dan masalah perubahan iklim. Tentu butuh kesadaran dan komitmen semua pemangku kepentingan untuk bersinergi demi tercapainya kesejahteraan bersama dan keutuhan ciptaan.*

http://green.kompasiana.com/iklim/2013/04/04/pergeseran-paradigma-selamatkan-hutan-indonesia-548272.html

[1] Dari berbagai sumber
[2] Pendapat Chandra Kirana dalam http://hutanindonesia.com/redd-mengubah-hutan-menjadi-solusi-perubahan-iklim/
[3] Alinea 2 dalam “Ekonomi Hijau Tak Selesaikan Masalah”, lihat http://hutanindonesia.com/ekonomi-hijau-tak-akan-selesaikan-masalah/

No comments:

Post a Comment