Kerusakan hutan dan peran Indonesia
Seperti kita ketahui, perubahan
iklim (climate change) menjadi
masalah global yang dihadapi dunia dewasa ini. Perubahan iklim merupakan bagian
dari krisis ekologis yang mendesak untuk diatasi agar keseimbangan ekologis
terjaga dan dunia menjadi tempat yang layak huni. Salah satu penyebab perubahan
iklim yang terjadi di Indonesia adalah laju deforestasi dan degradasi yang
begitu tinggi. Data tentang laju deforestasi (penggundulan dan pengalihan
fungsi lahan hutan) di Indonesia memang berbeda-beda, misalnya Bank Dunia
menyebut 700.000-1.200.000 ha/tahun. Sedangkan FAO menyebutkan laju kerusakan
hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per tahun atau setiap tahunnya luas
areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%). Berbagai LSM peduli lingkungan
mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000 – 2.000.000 ha per tahun.
Bahkan lebih tinggi lagi data yang diberikan Greenpeace, yakni mencapai
3.800.000 ha per tahun. Semua data itu menunjukkan parahnya kerusakan hutan di
Indonesia.[1]
Padahal Indonesia termasuk 3 besar negara yang memiliki hutan terluas di dunia,
namun sekaligus menjadi emiter (penghasil karbon yang lepas ke atmosfir secara
sangat signifikan) nomor empat setelah China, India, Amerika Serikat (AS)[2]
Mengingat luasnya hutan sekaligus tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia, maka peran dan tanggungjawab yang diemban Indonesia untuk mengatasi masalah ekologis pun menjadi besar. Kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah Indonesia khususnya terkait pengelolaan hutan menjadi sangat sentral dan berpengaruh terhadap kondisi ekologis global. Persoalannya apakah kebijakan pembangunan di Indonesia sungguh mendatangkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, sekaligus ramah lingkungan (eco friendly)? Ini terkait dengan paradigma dan indikator yang digunakan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Bila paradigma dan indikator yang digunakan hanya pertumbuhan ekonomi, maka bisa terjadi ketimpangan (ketidakadilan) sosial dan ketidakadilan ekologis. Buktinya pertumbuhan ekonomi 6 % tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bertambahnya lapangan pekerjaan maupun berkurangnya tingkat kemiskinan dan tingkat rasio gini serta masih menyisakan konflik agraria.
Kebijakan pembangunan di
Indonesia terkait pengelolaan hutan yang hanya terfokus pada pertumbuhan
ekonomi ternyata mengakibatkan kerusaan hutan yang semakin parah.
Itulah sebabnya kebijakan pembangunan di Indonesia khususnya terkait
pengelolaan hutan tidak cukup hanya menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi. Skenario
business as usual, green economy, skema REDD+ dan Masterplan Percepatan dan
Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang ditawarkan oleh berbagai pihak
sejatinya masih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Apakah skenario dan skema
tersebut akan efektif menyelamatkan hutan Indonesia? Banyak pihak masih
meragukannya. Oleh karena itu, pengelolaan hutan di Indonesia perlu
memperhatikan prinsip keadilan dan
keutuhan ciptaan mengingat masalah hutan di Indonesia sangatlah kompleks seperti
yang disampaikan oleh Noer Fauzi Rachman, yakni krisis ekologis, distribusi
penguasaan tanah dan sumber daya alam yang timpang, dan konflik-konflik
agraria.[3]
Pergeseran Paradigma (shift
paradigm) dari “Menguasai” ke “Merawat”
Penyebab kerusakan hutan di
Indonesia bila kita telusuri ternyata tidak berhenti pada konsep pertumbuhan
ekonomi, namun lebih dalam lagi dikarenakan paradigma “menguasai” atau “menaklukan”
yang dilakukan manusia terhadap alam semesta ini. Seperti kita ketahui, manusia
adalah makhluk yang paling tinggi martabatnya di antara makhluk ciptaan lainnya
di alam semesta ini. Karena itu, menurut Kitab Suci orang Kristen, Allah
memberinya kuasa untuk “...penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.” (Kitab Kejadian 1:28).
“Kuasa” itu dapat menimbulkan persepsi yang kurang tepat. Pertama, konsep “menguasai” (subdue) dilatarbelakangi oleh antroposentrisme
(berpusat pada manusia), artinya manusia menjadi pusat dari alam semesta
sehingga keberadaan semua makhluk di alam semesta diperuntukkan hanya bagi
manusia. Kedua, konsep “menguasai”
dapat menyuburkan kecenderungan egosentris manusia untuk serakah, mendominasi
dan melakukan kesewenang-wenangan demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Paradigma “kuasa” inilah yang membuat manusia berlomba-lomba mengeksplorasi
sumber daya alam secara sewenang-wenang dengan didukung oleh sistem ekonomi
kapitalis. Dampaknya, kerusakan ekologis dan ketidakadilan atau ketimpangan
sosial semakin masif terjadi.
Sudah saatnya paradigma “menguasai”
atau “menaklukan” itu diganti dengan “merawat”
(to maintain). Paradigma ini perlu diarusutamakan dalam
kebijakan pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya. Mengapa? Pertama, paradigma merawat mengandung nilai hormat, tanggungjawab dan keadilan
terhadap seluruh makhluk dan alam semesta. Alam semesta dengan segala isinya
adalah ciptaan Tuhan yang perlu dilestarikan dan dijaga keutuhannya agar tetap
menunjukkan keagungan Penciptanya. Manusia sebagai makhluk bermartabat paling
tinggi diberi kepercayaan dan kebebasan untuk menggunakan akal budi dan
kehendaknya untuk melestarikan alam semesta demi kebahagiaan bersama. Tanggungjawab
pada kelangsungan hidup generasi mendatang pun tidak boleh diabaikan. Paradigma
merawat akan menghindarkan manusia dari sikap kesewenang-wenangan, egoisme dan keserakahan.
Antroposentrisme bergeser menjadi ecocentrisme,
dimana manusia mencoba mengharmonisasikan dirinya dengan alam semesta.
Kedua, paradigma “merawat” dapat mendorong solidaritas dan partisipasi semua pemangku kepentingan. Kebijakan pengelolaan hutan dirumuskan, dilaksanakan,
diawasi dan dievaluasi oleh semua pihak demi kesejahteraan bersama (bonum commune). Krisis ekologis,
khususnya kerusakan hutan disadari sebagai masalah bersama yang perlu ditangani
bersama pula. Rasa solidaritas dan terbukanya ruang partisipasi melahirkan
sinergi yang hebat dalam upaya penyelamatan hutan, maupun secara lebih luas
dalam kebijakan dan implementasinya terkait pengelolaan hutan.
Ketiga, paradigma “merawat” melahirkan prinsip keberlanjutan. Meski Indonesia masih memiliki kekayaan
sumber daya alam, khususnya hutan tropis yang luas dan memiliki biodiversitas
tinggi, namun bila tidak dikelola dengan bijaksana tentu akan semakin berkurang
bahkan habis. Upaya reservasi, konservasi, dan penyelamatan hutan lewat
legislasi yang berdasarkan prinsip keadilan, ramah lingkungan dan berkelanjutan
(sustainability) perlu terus
digiatkan. Selain itu perlu diseriusi usaha kreatif dan inovatif untuk
menyiasati keterbatasan sumber daya alam dengan pengembangan energi alternatif atau
terbarukan di tengah semakin besarnya kebutuhan energi.
Bila diimplementasikan dengan
baik, paradigma “merawat” ini dapat melahirkan solusi bagi kerusakan hutan dan
masalah perubahan iklim. Tentu butuh kesadaran dan komitmen semua pemangku
kepentingan untuk bersinergi demi tercapainya kesejahteraan bersama dan
keutuhan ciptaan.*
http://green.kompasiana.com/iklim/2013/04/04/pergeseran-paradigma-selamatkan-hutan-indonesia-548272.html
[1] Dari berbagai
sumber
[2] Pendapat
Chandra Kirana dalam http://hutanindonesia.com/redd-mengubah-hutan-menjadi-solusi-perubahan-iklim/
[3] Alinea 2
dalam “Ekonomi Hijau Tak Selesaikan Masalah”, lihat http://hutanindonesia.com/ekonomi-hijau-tak-akan-selesaikan-masalah/
No comments:
Post a Comment