/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Saturday, March 16, 2013

WAWANCARA SEPUTAR "CYBER RELIGION"

Beberapa waktu lalu Lingkar Studi Profetika mewawancari saya seputar 3 topik: pertama,fenomena cyber religion yang direpresentasikan dari maraknya situs-situs keagamaan di internet. Kedua, diseminasi informasi atau pemikiran keagamaan dalam konteks kebebasan beragama dan berpendapat (demokrasi informasi). Dan ketiga, masa depan dialog antar agama dalam konteks kelimpahruahan informasi yang mungkin ada yang tak terverifikasi, tak terklarifikasi, mendiskreditkan, dan sebagainya (misal, Faith Freedom, dsb.)

1. Sebagai agamawan yang dibesarkan dan hidup di masa kini, kami rasa Romo sangat paham dengan media internet. Secara umum bagaimana tanggapan Romo keberadaan teknologi informasi itu?
Kita patut bersyukur, teknologi informasi dewasa ini berkembang pesat. Tentu perkembangan ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi kehidupan manusia di segala dimensinya. Akses informasi dan komunikasi menjadi lebih cepat, lancar dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Pertukaran ide, informasi dan diskusi atau belajar bersama dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien (mengatasi keterbatasan tempat, waktu dan beaya). Teknologi informasi juga dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, kehidupan iman, sosial ekonomi, politik, budaya, dan dimensi hidup lainnya. Untuk itu teknologi informasi perlu dikembangkan sesuai nilai-nilai moral (seperti kebenaran, keadilan, perdamaian, penghormatan HAM, keutuhan ciptaan, dll) dan kode etik yang berlaku agar tujuan mulianya dapat tercapai, yakni demi kebaikan bersama (bonum commune). Tapi kita tidak menutup mata terhadap penyimpangan yang terjadi, teknologi informasi disalahgunakan untuk kepentingan sosial, politis, ekonomis dan ideologis yang tidak sesuai dengan nilai kebenaran, keadilan, perdamaian dan penghormatan martabat manusia serta perusakan lingkungan. Prinsip-prinsip etis moral dilanggar sehingga merusak kehidupan moral, spiritual dan sosial. Ini merupakan tantangan riil yang harus kita hadapi.


2. Dalam konteks itu kita sama-sama tahu, kalau internet benar-benar merupakan ruang publik yang terbuka luas, tak ada otoritas yang mampu menyensor, mengontrol dan sebagainya. Dalam konteks diseminasi pemikiran keagamaan bagaimana Mo?
Ruang publik yang terbuka dan bebas itu menjadi media untuk diseminasi informasi, gagasan, keilmuan, ideologi, termasuk pemikiran-pemikiran keagamaan. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi para agamawan. Peluang, karena para pemikir keagamaan dapat melakukan deseminasi pemikiran, ajaran dan kebenaran-kebenaran iman secara cepat, murah, dan efektif menembus sekat-sekat ruang dan waktu. Juga bisa terbangun suatu diskursus pemikiran keagamaan untuk mencari kebenaran sejati. Namun bisa juga menjadi tantangan, karena banyaknya pemikiran dan “kebenaran-kebenaran” (dari berbagai versi) yang juga berlomba untuk di “klik” (dibaca) dan mungkin juga “diamini”. Pemikir-pemikir keagaaman ditantang untuk merefleksikan, merumuskan dan memperkuat kembali kebenaran-kebenaran imannya. Kemudian mereka dapat mengkomunikasikan (termasuk lewat internet, media informasi dan komunikasi lainnya) dan mengkontekstualisasikan kebenarannya dalam kehidupan nyata.

3. Menurut Romo kemudahan dan keterbukaan seperti di atas harus kita sikapi seperti apa?
Kemudahan dan keterbukaan itu merupakan realitas yang netral, artinya baik dan buruknya tergantung dari sikap kita. Itu bisa menjadi sesuatu yang negatif, merugikan dan menjadi ancaman bagi manusia (dalam berbagai dimensi kehidupan), bila disalahgunakan atau dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Dalam konteks kehidupan beragama, kemudahan dan keterbukaan yang digunakan untuk menyerang, menjelek-jelekkan atau menghina ajaran agama tertentu,, dapat “melukai” rasa keagamaan dan “mendelegitimasi” kebenaran yang diyakini oleh suatu agama. Namun, di sisi lain, keterbukaan itu bisa disikapi secara positif bila ditempatkan dalam kerangka proses pembelajaran. Dalam sejarah kekristenan, misalnya, banyak ajaran gereja yang dirumuskan justru untuk menanggapi ajaran-ajaran bidaah (yang dianggap menyimpang).

4. Memang internet sebagai media sifatnya netral, artinya tergantung yang memanfaatkan. Nah, kalau Romo melihat fenomena Faith Freedom, dimana para audien bisa bebas dan leluasa untuk membahas masalah agama, dalam kapasitas sebagai agamawan (believer) pandangan Romo seperti apa?
Secara pribadi, saya menerima itu sebagai suatu realitas masyarakat di era modern ini. Berbagai pemikiran, ideologi, kultur dan agama, sistem sosial, ekonomi dan politik dapat berjumpa bahkan berbenturan dalam wilayah terbuka itu. Realitas itu perlu disikapi dengan suatu disposisi batin yang tenang, keimanan yang kokoh (setidaknya tetap berproses menuju kematangan) dan sikap kritis. Fenomena Faith Freedom dsb dapat ditanggapi dengan positive thinking sebagai bagian dari proses pembelajaran, pendewasaan, pemantapan atau pematangan iman saya. Tantangan untuk memperdalam iman, membina umat, otokritik, dan memperkuat fungsi dan peran agama dalam kehidupan nyata semakin diperkuat. Pilihan untuk memanfaatkan media informasi (termasuk internet) juga perlu dilakukan secara efektif untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh suatu agama, terutama nilai-nilai kemanusiaan.

5. Masih dalam konteks Faith Freedom yang “gila-gilaan”, apakah bisa kita sebut sebagai demokrasi informasi yang kebablasan?
Bisa dikatakan demikian, sejauh Faith Freedom menggunakan prinsip kebebasan dalam demokrasi tanpa mengindahkan prinsip etis-moral. Prinsip kebebasan dalam demokrasi tentu tidak dimaksudkan tindakan bebas sebebas-bebasnya (semau gue). Kebebasan itu tetap dibatasi oleh kebebasan orang lain. Maka kebebasan itu harus menghormati hak dan martabat setiap orang (termasuk pemeluk agama).

6. Kalau Romo berkunjung ke Faith Freedom, ada tujuan yang paling jelas, yakni mengateiskan atau memurtadkan orang-orang Muslim. Dalam konteks itu, bagaimana pandangan Romo?
Kalau benar Faith Freedom mempunyai tujuan demikian, saya sungguh prihatin. Mengapa? Karena orang-orang yang terlibat di dalamnya melakukan “klaim kebenaran”, artinya menganggap ajaran atau pandangannya sebagai yang paling benar dan menganggap yang lain salah. Mereka melakukan pemutlakan kebenarannya sendiri dan memaksakan orang lain untuk mengakuinya. Lebih buruk lagi, mereka mengajak kaum Muslim untuk mengingkari kebenaran iman yang selama ini diakui. Tentu sikap semacam ini melanggar prinsip etis moral, khususnya tidak menghormati kebenaran iman yang diyakini umat Muslim.

7. Selain Faith Freedom, sebenarnya masih banyak situs-situs atau blog yang ditujukan dalam rangka kajian anti-Islam, seperti www.kebohongandariislam.blogspot.com, www.islamexpose.com dan sebagainya, Romo bisa melihat fenomena ini sebagai gejala apa? Dan juga apakah situs-situs seperti ini dijumpai di komunitas Krsitiani?
Pertama, itu merupakan fenomena masyarakat modern yang muncul sebagai salah satu konsekuensi logis dari kebebasan. Kedua, situs-situs itu dapat menjadi fenomena melemahnya upaya internalisasi (lewat pengajaran, sharing, kesaksian, dll) nilai-nilai keagaamaan. Internalisasi nilai itu sangat penting agar umat dapat menghayati agamanya secara otentik, tidak sekedar formalistis. Ketiga, fenomena itu justru dapat menantang agama-agama untuk lebih gencar mengupayakan kontekstualisasi ajaran agama-agama dalam menjawab persoalan-persoalan eksistensial yang dihadapi umatnya. Bila agama tidak menyentuh kehidupan konkrit, maka agama dapat ditinggalkan, atau sekurang-kurangnya umat beragama mudah goyah imannya. Dalam pandangan kami, agama terlalu berfokus pada “altar” (kegiatan peribadatan, kotbah, dll) namun tidak menyentuh “pasar” (kehidupan riil masyarakat). Seolah-olah agama menjadi terasing dari kehidupan sehari-hari dan tidak membawa manfaat atau perubahan berarti bagi kehidupan konkrit ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, iman tidak “mendarat” atau tidak mejadi “aktual” kehidupan nyata. Oleh karena itu secara internal, fenomena-fenomena itu mengajak kaum beragama untuk instropeksi diri atau melakukan otokritik dalam kerangka memperkuat dan mengkontekstualisasikan ajaran dan nilai-nilai iman dalam kehidupan nyata. Secara eksternal, agama-agama perlu membuka diri dan terlibat dalam pergumulan hidup masyarakat, kemudian bersama-sama (siapapun yang “berkehendak baik”) mencari jalan keluar yang terbaik.

8. Lebih jauh, menurut Romo bagaimana implikasi situs-situs seperti yang disebut di atas dalam konteks dialog antar iman-antar agama?
Pertanyaan yang bagus. Fenomena munculnya situs-situs tersebut, menantang kita semua (kaum beriman) untuk terbuka, membangun dialog, menganalisa bersama dan melakukan gerakan bersama. Dialog itu bisa dilakukan pada tataran kehidupan nyata (menjadi dialog kehidupan), dialog iman (intern agama), dialog antar-iman (antar agama) dan dialog karya (bekerjasama untuk mewujudkan iman dalam kehidupan sehari-hari lewat tindakan nyata mengatasi berbagai persoalan masyarakat). Tujuannya adalah demi terwujudnya suatu tatanan hidup masyarakat yang adil, damai, menghormati martabat manusia dan kelestarian alam (keutuhan ciptaan). Itu menjadi tanggungjawab global (termasuk orang beriman dan beragama) yang dihadapi oleh seluruh manusia di muka bumi ini. Untuk itu dibutuhkan kesadaran akan realitas global, sikap inklusif-pluralis, saling menghormati dan dialog yang transformatif. Dalam konteks inilah, situs-situs yang “mengancam” kemanusiaan, keimanan (religiositas) dan keutuhan alam itu menjadi salah satu tantangan global (di antara sekian banyak yg lain: kemiskinan, ketidak adilan, perang, terorisme, perusakan alam, pemanasan global) yang harus dihadapi agama-agama. Dialog yang korelasional dan bertanggungjawab secara global (pandangan Paul F. Knitter) kiranya perlu dibangun sebagai suatu pilihan untuk menghadapi tantangan global tersebut. Dasarnya adalah suatu “etika global” yang dibangun dari konsensus bersama tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama), bahkan oleh kaum non-beriman (Hans Kung, 1997, A Global Ethics for Global Politics and Economics). Nilai-nilai etis yang bersifat universal itu misalnya kebenaran, keadilan, perdamaian, kemanusiaan, cinta lingkungan dsb. Nah, dialog semacam itu kan bisa “dipromosikan” juga lewat media informasi dan komunikasi yang efektif dan efisien.

9. Kita tahu Teori Benturan Antarperadaban Huntington begitu menghipnotis masyarakat Muslim juga Barat atau Eropa. Pendapat Romo terkait dengan hipotesis itu?
Menurut saya, pandangan Huntington terlalu pesimis terhadap dunia yang diramalkannya akan terjadi konflik peradaban. Dia meragukan kebenaran tesis Fukuyama tentang akhir konflik ideologi antar manusia (pasca perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin). Tesis Huntington itu tentu masih bisa diperdebatkan. Artinya tidak seluruhnya benar, misalnya pandangannya tentang Islam yang secara intrinsik tidak demokratis, sebaliknya peradaban barat sangat demokratis. Pandangan semacam itu bisa mengakibatkan hubungan Barat dan Islam seakan-akan bermusuhan. Bahkan pandangan itu bisa membenarkan kebijakan negara barat (seperti AS dengan kapitalismenya) untuk “menindas” umat Muslim. Menurut saya, Islam sangat mendukung toleransi, demokrasi, penghormatan HAM dan keutuhan ciptaan. Oleh karena itu pandangan Huntington tentang benturan peradaban itu mestinya didekonstruksi dengan membangun suatu peradaban publik (global) yang dilandaskan pada nilai-nilai universal kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan itu dapat diletakkan sebagai dasar bagi suatu tatanan dunia yang lebih manusiawi dan berwawasan ekologis.

10. Lebih mengerucut lagi, apakah Romo optimis dengan fenomena cyber religion yang meluluhlantakan otoritas keagamaan?
Saya kok tetap optimis, sejauh agama-agama dapat melakukan koreksi diri, terus memperbaiki diri (semper reformanda), dan mengkontekstualisasikan dirinya di tengah kehidupan nyata. Agama akan ditinggalkan bila tidak mampu memberikan “jawaban” atas pertanyaan-pertanyaan (problem) eksistensial manusia. Bila agama dapat melakukan itu semua, saya yakin kehidupan beragama akan semakin baik. Apalagi bila umat beragama dapat menghayati iman yang sejati, bukan sekadar formalistis, saya optimis agama tidak membawa mudarat tapi manfaat bagi penganutnya, bahkan bagi siapa saja. Saya berharap Islam juga bisa menjadi rahmat il allamin (mas, mohon dikoreksi klo salah) bagi dunia.

11. Perlukah situs-situs keagamaan sebagai representasi cyber religion diatur oleh negara? Mengapa?
Seperti yang anda kemukakan dalam pertanyaan kedua, sebenarnya media internet berada dalam ruang publik yang terbuka dan bebas, tidak ada otoritas yang mampu menyensor dan mengontrol. Apakah negara bisa melakukannya? Bila negara mau melakukannya tanpa melanggar prinsip kebebasan beragama/berkeyakinan dan berpendapat tentu masih akan menimbulkan sikap pro dan kontra. Tapi perlu dilihat juga pengalaman nyata. Bukankah semakin dilarang malah semakin menantang. Masyarakat kita suka yang sensasional sih. Terus gimana? Ya, kita perlu bersikap kritis dan bijak seperti yang sudah saya uraikan di atas. Semua elemen masyarakat dan agama perlu menumbuhkan tanggungjawab dan gerakan bersama untuk memberikan tekanan etis moral supaya guliran “kebenaran” dapat menyentuh kedalaman hati umat beriman

1 comment:

  1. Sangat menarik pembahasannya. sebagai peselancar jagad maya yg tampan, saya sangat sepakat kalau semua pemuka agama turut memaksakan bagaimana cyber religion diterapkan sesuai agama masing-masing.
    Prihatin dng yg terjadi di faith freedom , yg isinya sungguh tak menunjuk pada umat agama tertentu, sebagian besar hanyalah orang-orang yg lupa tentang bagaimana Tuhan-nya mengajarkan cara mengajak pada kebenaran.
    http://ibnu.mywapblog.com/menuju-kesempurnaan-cyber-religion.xhtml

    ReplyDelete