/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Monday, March 18, 2013

BENCANA KEKERINGAN SPIRITUALITAS

Maraknya aksi kekerasan, korupsi, terungkapnya peredaran narkoba, praktek-praktek ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang tersaji di hadapan kita, baik secara langsung maupun lewat berbagi media. Fenomena tersebut bisa kita sebut sebagai “budaya kematian”, yang merusak pribadi dan tatanan hidup bersama. Mengapa di tengah masyarakat kita yang dikenal sangat religius karena menganut agama, melakukan praktek-praktek ibadah dan kesalehan serta memiliki banyak tempat ibadah ini masih sering terjadi kekerasan dan ketidakadilan? Meskipun ada berbagai alasan ekonomis, politis, sosial dan sebagainya yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dan praktek-praktek ketidakadilan itu, namun sejatinya ada alasan yang lebih mendalam lagi. Rupanya gejala kekerasan dan segala praktek ketidakadilan itu merupakan gejala "sakit kronis" yang diidap masyarakat kita, yakni kekeringan spiritualitas .
Kekeringan spiritualitas itu bahkan bisa menjadi bencana yang mengancam masyarakat kita bila tidak segera disadari dan diatasi. Bagaimana hal itu bisa dicegah dan diatasi? Kita perlu melihat secara jernih ke dalam lubuk hati dan cara berada kita selama ini. Sejatinya dalam diri kita sudah tertanam nilai-nilai keilahian dari Sang Pencipta, yakni kasih sayang, suka damai, adil, ketakwaan, kejujuran, persaudaraan dan saling menghargai. Itulah nilai-nilai ilahi yang mengangkat kita sebagai manusia bermartabat dan beraklak moral tinggi. Agama-agama yang dianut masyarakat kita juga telah mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai tersebut. Persoalannya, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar sudah tertanam dan mewujud dalam cara hidup (pikiran, perasaan dan tindakan) kita? Pertanyaan lebih lanjut, apakah cara beragama kita sungguh sudah otentik, atau hanya sekedar formalitas?

Spiritualitas (yang berasal dari kata dasar spirit: ruah, roh) adalah sebuah pengalaman akan kehadiran Roh (Yang Ilahi) yang menjadi daya dan menggerakan seluruh diri kita. Spiritualitas menjadi sebuah gaya hidup yang digerakkan Roh Allah. Maka seluruh cara mengada kita akan dijiwai oleh nilai-nilai atau keutamaan keilahian yang ditanamkan Allah di dalam diri kita. Seseorang yang memiliki spiritualitas mendalam, gaya hidupnya pasti digerakkan dan dijiwai oleh nilai-nilai tersebut. Dia peka dan mudah tergerak untuk mewujudkan nilai-nilai kasih, damai, kejujuran, keadilan dan kepedulian dalam seluruh hidupnya.

Kedalaman spiritualitas seseorang akan dapat dilihat bukan sekedar dalam ritual, simbol-simbol dan praktek formal keagamaan yang dilakukan, namun sungguh nyata dalam seluruh kehidupan sehari-hari. Realitas hidup sehari-hari menjadi medan nyata yang menguji sekaligus mengasah spiritualitas seseorang. Celakanya, cara beragama kita, sering kali terpisah, tidak sejalan atau bahkan terasing dari cara hidup kita di tengah realitas hidup sehari-hari. Praktek hidup beragama tidak sungguh menyentuh kedalaman diri dan tidak mampu menuntun pikiran, perasaan dan tindakan kita saat dihadapkan pada realitas hidup sehari-hari. Kenyataan hidup yang terkadang berat dan penuh tantangan sering membuat kita lupa, terlena, bahkan tak berdaya untuk mewujudkan nilai-nilai spiritual secara nyata. Hidup beragama yang terlalu menekankan hal-hal formal tidak akan efektif memberikan jawaban atau tuntunan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih parah lagi, agama (dan para penganutnya) dapat dengan mudah dijadikan alat kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Upaya nyata yang menjadi keniscayaan adalah memperdalam spiritualitas (kepekaan dan pengalaman akan kehadiran Roh Allah atau nilai-nilai keilahian). Bersama religiositas (pengalaman keterarahan, keterikatan dan relasi iman dengan Allah), spiritualitas menjadi inti dari setiap agama. Penghayatan hidup beragama yang formalistik mesti diganti dengan penghayatan yang otentik, yakni menggali lebih dalam dan mencuatkan spiritualitas dan religiositas itu dalam kehidupan nyata. Penanaman nilai-nilai spiritual dan religius mesti menjadi fokus perhatian dan upaya setiap pribadi, keluarga, sekolah dan komunitas umat beragama. Praktek hidup beragama (pengajaran iman, doa, ritual keagamaan, simbol-simbol, aturan moral dan tata kelola komunitas agama) mestinya dihayati sebagai ungkapan nilai-nilai religius spiritual dan makin membantu setiap pribadi dan komunitas untuk memperdalamnya. Singkatnya, cara hidup beragama kita mesti dikembalikan pada inti hidup beragama, yakni spiritualitas dan religiositas. Niscaya, masyarakat kita akan terhindar dari bencana kekeringan spiritualitas yang menimbulkan kekerasan, ketidakadilan dan berbagai praktek yang merusak martabat manusia. Kedalaman religius spiritual akan menggeser “budaya kematian” menjadi “budaya kehidupan”.

No comments:

Post a Comment