/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Friday, February 25, 2011

MEMBANGUN PAGUYUBAN UMAT KEUSKUPAN PURWOKERTO DALAM KONTEKS BUDAYA*)

Pada tanggal 27 April 2007 Keuskupan Purwokerto genap berusia 75 tahun. Sebuah umur yang tentu mencerminkan kematangannya karena telah melewati pergumulan yang panjang dalam membangun jati dirinya di wilayah eks-Karisidenan Banyumas, Kedu (bagian barat) dan Pekalongan ini. Namun proses itu tentu belumlah berakhir, peziarahan panjang untuk menghadirkan Kerajaan Allah di wilayah ini masih harus dijalani. Salah satu pergumulan yang harus dialami dalam peziarahan itu ialah bagaimana umat Katolik Purwokerto membangun jati diri dan menghayati cita rasa religiusnya (sensus fidei) sebagai umat Katolik Purwokerto, bukan bukan sekedar umat Katolik (Gereja) di Purwokerto.

Pergumulan itu menunjuk pada upaya untuk membangun sebuah hidup menggereja yang kontekstual (khususnya konteks budaya). Pokok inilah yang kiranya diminta oleh redaksi Mediator untuk dituliskan sebagai wacana dan bahan diskusi bagi siapa saja yang mau berziarah bersama umat Katolik Keuskupan Purwokerto menuju realisasi Kerajaan Allah di wilayah ini. Tulisan ini tidak didasarkan pada penelitian obyektif-ilmiah di lapangan, namun berangkat dari studi teoretis dan kesadaran diri penulis sebagai “bagian” dari umat Keuskupan ini.
1. Gereja sebagai Paguyuban Orang Beriman yang terbuka
Gereja Keuskupan Purwokerto sedang membangun jatidirinya sebagai persekutuan Umat Beriman Katolik yang dalam kesatuannya dengan Gereja Katolik sedunia, khususnya Indonesia, dan dalam kerjasama dengan umat setempat yang berkeyakinan lain, terpanggil untuk memelopori semakin tegaknya Kerajaan Allah dengan memperjuangkan dan menghayati nilai-nilai luhur kemanusiaan (Gereja Keuskupan Purwokerto Menegaskan Arah 2006-2011, hlm. 13). Arah atau visi ini pada hakekatnya mau menegaskan eksistensi Gereja Keuskupan Purwokerto sebagai sebuah paguyuban umat yang terbuka atas dasar panggilannya untuk menjadi saksi Kristus, saksi Kerajaan Allah (Kis 1:8). Gereja tidak dibentuk Yesus demi Gereja itu sendiri, melainkan demi kebaikan seluruh masyarakat. Jadi visi Gereja Kristus, termasuk Gereja Keuskupan Purwokerto, adalah visi Gereja yang memandang ke luar, bukan ke dalam. Kalau Gereja memandang pada dirinya sendiri, itu hanya untuk membenahi diri supaya dapat melaksanakan tugas pelayanannya dalam masyarakat. (Magnis-Suseno, 2004;57).
Jelaslah bahwa Gereja bukanlah tujuan, melainkan sarana keselamatan bagi dunia. Untuk itu paguyuban umat beriman Katolik Purwokerto mesti terbuka, menjadi bagian dari masyarakat, hadir sebagai “garam dan terang” di tengah perjuangan membangun kehidupan yang adil, damai, sejahtera dan bermartabat (baca: Kerajaan Allah).
2. Hidup menggereja kontekstual di tengah budaya
Penegasan arah Gereja Keuskupan Purwokerto membawa juga implikasi pada suatu kehidupan menggereja yang kontekstual. Kontekstualisasi merupakan usaha Gereja untuk menghayati Injil dalam suatu budaya, sehingga selalu mengandung 3 unsur pokok atau konteks, yaitu Gereja, Injil dan budaya. Usaha kontekstualisasi selalu dihadapkan pada tugas untuk berdialog dengan budaya tertentu (unsur kultural), dengan tradisi-tradisi gereja (unsur gerejani) dan dengan Injil (unsur alkitabiah). Maka kita perlu melihat bagaimana konteks itu sekarang secara aktual dialami (eksperiensial) dan bagaimana hal ini dihayati dalam sejarah (historis) hidup menggereja Keuskupan Purwokerto. (Banawiratma, dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II. Refleksi dan Tantangan, 1998;446).
Dalam usaha kontekstualisasi itu Injil selalu dikomunikasikan melalui wujud kebudayaan tertentu dan oleh karena itu, juga tidak bebas dari keterbatasan. Paguyuban umat Katolik Purwokerto saat ini pun sedang mengkomunikasikan Injil di tengah budaya banyumasan, mataraman dan pesisiran. Kebudayaan sebagai suatu keseluruhan cara berpikir, merasa, mengorganisisr diri, sistem nilai atau keutamaan, penghayatan religius dan pandangan dunia (worldview), bersifat ambivalen. Artinya, pandangan, perasaan, penghayatan religius, nilai-nilai dan cara hidup dari kebudayaan yang dimiliki masyarakat di wilayah ini bisa sesuai dan bisa tidak sesuai dengan interpretasi dan moral Injil Berhadapan dengan kebudayaan yang ambivalen itu, Injil dapat meneguhkan (afirmatif) terhadap apa yang sesuai, sekaligus menegur (konfrontatif) terhadap yang tidak sesuai (agar terjadi transformasi). Apabila dalam perjumpaan itu terjadi pengolahan secara kritis, jujur dan bertanggung jawab oleh umat beriman, maka dapat diharapkan terjadi transformasi budaya. Di sinilah terjadi evangelisasi kebudayaan atau kontekstualisasi.
Masalah yang biasa muncul adalah adanya suatu ketegangan antara universalitas dan partikularitas. Kebenaran Injil yang diimani sebagai berlaku secara universal dalam Gereja, dikomunikasikan dan diterima dalam konteks kebudayaan yang dihidupi umat dan masyarakat Purwokerto. Apalagi kebenaran universal itu mau dikomunikasikan di tengah pluralitas budaya partikular yang ada di wilayah keuskupan Purwokerto ini (banyumasan, mataraman dan pesisiran). Ada kecenderungan universalitas itu sangat ditekankan demi menjaga kesatuan (unity of religion), sehingga meminggirkan pluralitas budaya lokal (Zakiyuddin Baidhawy dkk, 2003;xv). Masalahnya bukanlah bagaimana menerapkan kebenaran-kebenaran abstrak pada situasi konkret, tetapi kenyataan bahwa peristiwa Yesus yang konkret, yang terjadi dalam konteks kebudayan dan situasi tertentu, mempunyai makna universal. Untuk mengatasi ketegangan itu dibutuhkan suatu interpretasi dan dialog kritis, jujur dan terbuka. Kebenaran universal Injil (dalam konteks historis kulturalnya) harus diinterpretasi dan didialogkan terus menerus dengan konteks historis dan kultural umat dan masyarakat Purwokerto. Interpretasi dan dialog itu menjadi kunci kesuksesan kontekstualisasi (Gerrit Singgih, 2000;32).
3. Cita Rasa Iman di tengah budaya Jawa
Upaya kontekstualisasi akan membuahkan paguyuban umat Katolik Purwokerto yang memiliki cita rasa iman (sensus fidei) atau religiositas yang khas Purwokerto. Cita rasa religius yang khas itu ditemukan dalam perjumpaan dengan konteks budaya Jawa (banyumasan, mataraman dan pesisiran) yang dihidupi oleh sebagian besar umat Purwokerto. Kebudayaan Jawa bisa menjadi “taman yang indah” bagi tumbuhnya cita rasa religius Umat Purwokerto karena di dalamnya terkandung nilai-nilai atau keutamaan (moral, religius, sosial, ekologis). Di sini hanya akan diuraikan secara singkat 4 nilai atau keutamaan dalam kebudayaan Jawa, yakni cita-cita manunggaling kawula Gusti, sosok Semar sebagai kehadiran kekuatan Ilahi yang mengayomi dalam bentuk punakawan, pentingnya unsur “rasa”, dan kerinduan akan hubungan antar warga komunitas yang baik, rukun, dan sepi ing pamrih (Magnis-Suseno, 2004;161-164).
Kerinduan terdalam dari religiositas Jawa adalah bersatunya manusia dengan Yang Ilahi, seperti yang dihadirkan lewat tokoh Semar sebagai kekuatan Ilahi yang menjelma sebagai hamba, menjadi bagian dari punakawan, terlibat dalam pergumulan hidup mereka yang lemah dan sederhana. Ini membuat kehadiran Yesus yang mengidentikkan diri sebagai hamba, dekat dengan orang miskin, lemah, menderita dan tertindas, menjadi lebih mudah diterima di hati orang Jawa. Warta Injil tentang Yesus sebagai wujud kehadiran Allah yang turut merasakan pergumulan manusia dan menjadi “jalan, kebenaran dan hidup” dapat diimani dan dihayati dalam hidup orang Jawa.
Kebenaran Injili bisa ”diamini” dan ”diimani” hanya bila orang Jawa dapat “merasakan”, meresapkannya dalam batin dan menjadi kekuatan yang hidup dalam dirinya. Iman akan tumbuh bila orang Jawa dapat merasakan kebenaran itu nyata dalam kehidupan umat (kesaksian) yang rukun, saling mengasihi, mendukung, mengayomi, membawa kegembiraan dan ketentraman hati. Paguyuban umat Katolik Keuskupan Purwokerto ditantang untuk membuktikan kebenaran Injil dalam kesaksian hidup mereka di tengah masyarakat. Oleh karena itu paguyuban ini harus memperhatikan dimensi batin (keheningan, doa, ekaristi, permenungan sabda Tuhan, kesatuan hati dengan Tuhan dan sesama), dimensi liturgis (perayaan) dengan simbol-simbolnya yang ekspresif (ekaristi, air, dupa, pakaian, patung, gambar, jalan salib, novena, devosi, dll), dimensi sosial karitatif (kepedulian dan pelayanan sebagai perwujudan kasih, kerukunan, toleransi, dsb). Bila itu terjadi maka kerinduan terdalam religiositas manusia Jawa akan terpenuhi dalam diri Yesus dan Kerajaan Allah. Paguyuban umat Katolik Keuskupan Purwokertolah yang menjadi saksi hidup dan tanda nyata (sakramen)-nya.
4. Tantangan budaya modern dan globalisasi
Tak dapat dipungkiri bahwa budaya modern dan globalisasi dengan cepat merasuk, menimbulkan pergeseran nilai dan mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk umat Katolik. Modernisasi dan globalisasi di satu sisi membawa dampak positif, namun di sisi lain dampak negatifnya juga tidak kalah hebatnya (gaya hidup konsumtif, fungsionalistis, kesenjangan sosial-ekonomi, kerusakan lingkungan, fundamentalisme agama, dsb). Dewasa ini budaya lokal dengan segala kearifannya juga semakin terpinggirkan dan kurang diminati, lebih-lebih oleh kaum mudanya (yang masih dalam proses mencari jatidirinya dan “budaya”-nya). Cita rasa religius semakin memudar, terhimpit oleh gaya hidup yang mengagungkan kemewahan, kenikmatan dan prestise (meski harus menghalalkan segala cara). Iklim persaingan yang ketat semakin menyingkirkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, solidaritas dan tanggungjawab bersama. Inilah realitas dan tantangan aktual yang harus dihadapi oleh paguyuban umat Katolik Keuskupan Purwokerto.
Manakah sikap dasar yang harus diambil untuk menghadapi realitas dan tantangan itu? Kiranya sikap dasar yang harus dipilih oleh paguyuban umat Katolik adalah back to basic, maksudnya kembali ke dasar keumatan, jati diri sebagai sebagai murid dan panggilan sebagai saksi Kristus dalam konteks aktual masyarakat kita. Secara konkrit sikap itu harus diwujudkan dalam tindakan ke dalam dan ke luar (bdk. “Gereja Keuskupan Purwokerto Menegaskan Arah 2006-2011”, hlm. 19-21). Ke dalam, paguyuban ini harus memperdalam penghayatan keutamaan cinta kasih, kerukunan, solidaritas dan menghidupi cita rasa religiusnya yang khas. Ke luar, perlu pembaharuan semangat, metode dan ungkapan nyata dari kesaksiannya akan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah masyarakat. Paguyuban ini juga perlu membaharui komitmen dan kepeduliannya pada permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat, sambil menjalin kerjasama dengan berbagai pihak (lintas agama, kultur, golongan).
Untuk mendukung terlaksananya kedua arah tindakan itu, pemberdayaan keluarga dan komunitas basis sangat mendesak untuk lebih ditingkatkan. Keluarga dan komunitas basis menjadi basis bagi upaya menanamkan dan memperdalam nilai-nilai dan cita rasa religius yang khas itu, sekaligus menjadi ujung tombak dari kesaksian hidup di tengah masyarakat. Keluarga dan komunitas basis itu juga perlu memberi perhatian khusus pada pendampingan kaum muda dalam proses mencari jatidiri dan “budaya”nya.
Akhir kata, paguyuban umat Katolik Keuskupan Purwokerto dipanggil untuk terus menerus membaharui diri sesuai jatidiri dan panggilan dasarnya sebagai saksi Kerajaan Allah di tengah masyarakat. Dengan sikap terbuka terhadap kehendak-Nya (“non nostra sed tua voluntas tua”), paguyuban ini mesti terbuka dan hadir dengan segala kekhasannya dalam konteks aktual masyarakat. Semoga paguyuban umat Keuskupan Purwokerto semakin mewujudkan “Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah pada Injil” (Mrk 1:15).
Bahan Bacaan:
Badhawy, Zakiyuddin dkk (eds), 2003, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Gerrit Singgih, Emanuel, Ph.D, 2000, Berteologi Dalam Konteks, Jakarta dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius.
Magnis- Suseno, Franz, SJ., 2004, Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk, Jakarta: Obor.
Penerbit Kanisius (ed), 1997, Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Yogyakarta: Kanisius

*)Artikel ini pernah dimuat di majalah Mediator edisi Juni 2007

No comments:

Post a Comment