/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Tuesday, June 21, 2011

BELAJAR TULUS


Rabu, 15 Juni 2011
Pekan Biasa XI
Bacaan: 2Kor 9:6-11 dan Mat 6:1-6,16-18

Beberapa OMK masih berdiri di depan pintu sebuah gereja paroki ketika misa sudah hampir mulai. Ketika seorang petugas tata tertib mendekati mereka dan mempersilahkan masuk, seorang di antara mereka menjawab sambil celingukan, “kami sedang menunggu teman…”. Rupanya, teman-teman OMK ini merasa kurang afdol bila mereka tidak masuk gereja dan duduk berdekatan saat misa. Bangku yang biasanya dipilih pun relatif tetap, yakni di pojok belakang sayap kanan gereja. Seringkali terjadi, pada saat misa mereka ngobrol dan cekikikan (tertawa geli). Para petugas tata tertib biasanya cukup direpotkan dengan ulah mereka itu.


Apa yang terjadi pada diri OMK tersebut memang merupakan sebuah realitas, namun bukanlah menggambarkan seluruh realitas OMK kita. Ada begitu banyak (mungkin sebagian besar) OMK yang mengikuti misa dengan hikmat dan penuh penghayatan. Daripada membanding-bandingkan atau memuji yang satu dan menjelekkan yang lain, mari kita bertanya diri, “untuk apa saya datang ke gereja dan mengikuti misa?” Apakah sekedar untuk bertemu teman? Ataukah hanya memenuhi kewajiban sebagai orang katolik? Biar dianggap baik oleh sesama? Atau sungguh ingin bertemu Tuhan, bersyukur dan memohon berkat-Nya? Jawaban jujur atas pertanyaan itu akan membantu kita menemukan motivasi yang mendorongku untuk pergi ke gereja atau pun kegiatan rohani lainnya.

Suatu kebanggaan bahwa banyak OMK yang terlibat dalam berbagai kegiatan: aktifitas berorganisasi (intern dan ekstern gereja), keterlibatan dalam gerakan sosial kemasyarakatan, ikut kepanitian, pelatihan dan sebagainya. Perlu sesaat kita mengadakan refleksi diri untuk menjernihkan motivasi dan menemukan makna di balik semua aktivitas itu. Bila itu lalai dilakukan, niscaya kita akan jatuh pada aktivisme belaka (yang penting banyak kegiatan, tapi kehilangan roh dan maknanya bagi diri dan sesama). Kemungkinan lain, kita bisa terjebak pada formalisme (penekanan pada hal-hal eksternal, tampilan luar/lahiriah) tanpa keselarasan dengan apa yang hidup di dalam batin kita.

Yesus mengajak kita untuk memiliki hati yang tulus dalam melakukan kewajiban agama, berdoa dan berpuasa, bukan karena ingin dipuji atau dihargai orang lain. Sebuah ajakan yang tidak mudah kita lakukan di tengah budaya “narsis” yang cukup merasuk di tengah kehidupan. Semakin jauh pula dari kehidupan kita praktek hidup bersama yang dilandasi sikap tanpa pamrih, bebas dari kepentingan diri sendiri/kelompok dan tulus memberikan diri dalam pelayanan bagi Tuhan dan sesama. Inilah tantangan nyata bagi kita, orang muda Katolik, untuk menghayati ketulusan hati dalam hidup dan pelayanan kita di tengah keluarga, gereja dan masyarakat. Salah satu indikator kita sudah bersikap tulus adalah tidak mudah tersinggung, patah semangat atau kecewa bila segala niat dan perbuatan baik kita tidak dihargai, dianggap tak berarti atau bahkan ditolak. Asalkan niat yang tulus dan perbuatan baik itu dilakukan demi memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama, pastilah akan berkenan di hati Tuhan. Mari kita belajar untuk memiliki hati yang tulus dalam hidup dan pelayanan kita sebagai OMK.

No comments:

Post a Comment